Tuesday, January 3, 2017

[Review] Critical Eleven - Ika Natassa


Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN13: 9786020318929
Tanggal terbit: 10 Agustus 2015
Tanggal baca: 01-02 Januari 2017
Rating: rahasia, baca dulu sampai bawah 😝

“Berani menjalin hubungan berarti berani menyerahkan sebagian kendali atas perasaan kita kepada orang lain. Menerima fakta bahwa sebagian dari rasa kita ditentukan oleh orang yang menjadi pasangan kita. That you’re only as happy as the least happy person ia relationship.” -halaman 7.

Tanya Laetitia Baskoro dan Aldebaran Risjad pertama kali bertemu di pesawat dalam penerbangan Jakarta-Sydney beberapa tahun lalu. Anya dan Ale sama-sama tak menyangka pertemuan singkat itu akan memunculkan kisah berikutnya. Kisah cinta, tepatnya. Namun, menjelang akhir pertemuan itu, Ale tahu bahwa Anya adalah his one. Tindakan yang tepat ia lakukan: meminta nomor kontak Anya. Sebulan kemudian mereka kembali bertemu, kemudian berpacaran, kemudian menikah.

Bertahun-tahun kemudian, mereka menjadi pasangan suami-istri. Yang sangat bahagia. Walau tinggal berjauhan dan hanya bisa bertemu lima minggu setelah lima minggu berpisah, mereka tetap menikmatinya. Namun sejak enam bulan yang lalu, mereka terpaksa harus berpura-pura tetap menjadi pasangan bahagia di hadapan semua orang. Sejak kejadian enam bulan lalu, kehidupan rumah tangga mereka tak lagi sama. 

Tak ada lagi malam-malam romantis itu.

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis dalam dunia pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ini kali pertama aku membaca karya Ika Natassa. Aku tertarik membaca buku ini karena kovernya (yang ternyata dibuat sendiri oleh penulis) yang biru-biru menggemaskan itu.

Tadinya, begitu melihat kover itu, aku berpikir bahwa Critical Eleven akan menceritakan kisah kedua tokoh dari mulai bertemu di pesawat sampai akhirnya jadian, atau kisah cinta yang semacam itu (FYI, aku emang jarang baca blurb sebelum baca buku, maklumin aja). Ternyata aku salah, cerita buku ini lebih dari itu.

Secara umum, Critical Eleven bercerita tentang kisah asmara Anya dan Ale, utamanya kehidupan pernikahan mereka. Kehidupan pernikahan ternyata tak selalu berjalan mulus seperti jalan depan Masjid Kampus UGM jam satu dini hari, terkadang kehidupan pernikahan berjalan tersendat, penuh liku, namun itulah saat yang tepat bagi pasangan untuk mengingat kembali mengapa dulu mereka memutuskan untuk bersama. 



Aku suka bagaimana penulis mengatur tensi cerita. Penulis tidak dengan serta merta menyampaikan kepada pembaca tentang hal apa yang menyebabkan dua sejoli ini berkonflik sedemikian rupa. Namun ketika konflik akhirnya terkuak, aku merasa sangat larut dalam cerita yang penulis bawakan. Walaupun kedua orang ini harus tinggal berjauhan karena pekerjaan Ale yang memaksanya tinggal di tengah laut somewhere di Meksiko sana, jelas bukan itu penyebab mereka berperang dingin. Masalah ini serius, menyangkut perasaan terdalam, menyangkut tragedi, dan menyangkut sebuah tindakan kecil yang membawa penyesalan teramat dalam.

Hal pertama yang menarik perhatianku adalah gaya Ika Natassa dalam bercerita. Penggunaan bahasa Inggris dengan porsi cukup banyak bisa ditemukan di Critical Eleven. Soal ini, tinggal bagaimana selera kita aja. Aku pribadi sih nggak begitu suka bahasa Inggris yang sebanyak itu (lebih karena bahasa Inggrisku jeblok karena sejak kuliah aku udah nggak belajar bahasa ini secara formal lagi) (menangisi skor TOEFL), namun yang jelas, ini adalah gaya penulis. Justru unsur ini yang membuat tulisan Ika Natassa menjadi khas.

“Sebagai laki-laki, tugas utama kita adalah mengambil pilihan terbaik untuk diri kita sendiri dan orang-orang yang dekat dan bergantung pada kita.” -halaman 30.

Critical Eleven menggunakan sudut pandang orang pertama dari kedua tokoh ini. Nilai plusnya, pembaca akan dengan mudah ikut merasa simpati pada pasangan ini. Penulis sangat pandai membedakan gaya berceritanya ketika sedang menggunakan sudut pandang Anya dan Ale.

Pada bagian Anya, narasi yang disajikan penulis jauh lebih banyak daripada dialog, dan narasinya sangat informatif. Soal apa itu critical eleven misalnya, bisa kita temukan dari bagian sudut pandang Anya. Kebanyakan narasi bahasa Inggris panjang banget-nya juga sebagian besar ada di bagian Anya. Kelihatan banget gimana karakter Anya lewat penuturannya; bagaimana sifatnya manja dan penuh dilemanya yang cewek banget itu. Gemes, duh!

Sementara itu, bagian Ale menunjukkan sifat kelaki-lakiannya dengan baik. Narasinya nggak sebanyak punya Anya, tapi aku bisa melihat sifat dewasa dan bertanggung jawabnya Ale. Mungkin untuk lebih menekankan sifat Ale, penulis menggunakan kata ganti "gue" untuk sudut pandang Ale, cuma aku merasa aneh karena Ale jadi terbaca agak maksa menggunakan kata ganti ini. Atau cuma perasaanku aja ya?

Alur yang digunakan adalah alur maju-mundur, namun aku sama sekali nggak merasa aneh atau bingung dengan setting yang tiba-tiba melompat. Aku justru suka, karena dengan alur ini cerita menjadi lebih mudah dinikmati, kadang terasa hangat ketika tokoh tengah bernostalgia, kadang aku dibuat geregetan ketika penulis membawaku ke masa kini.



Anya dan Ale tetaplah pasangan suami istri, dimana kadang mereka mikir ngeres. Terutama Ale. Ada satu adegan yang berhasil membuatku mencari-cari kipas karena ruangan tiba-tiba menjadi agak panas. Kalau dulu aku selalu skip yang kayak beginian, sekarang nggak dong.
Aku udah gede, mah. (ditabok draft skripsi orang)

Yang menurutku agak mengganggu adalah bagaimana Ika Natassa menyampaikan bahwa Ale rajin shalat dan hal-hal religus lainnya. Bukan, masalah Ale alim jelas bukan masalah. Yang masalah adalah bagaimana Ika Natassa membuat satu tokoh yang begitu alim namun juga menyebutkan bir dan wine dalam satu buku. Ini sebenarnya preferensi pribadi aja sih, karena empunya blog yang calon istri shalihah ini merasa cowok religius tapi masih begitu dekat dengan etanol sebagai hal yang ganjil. Anya juga, masih di bawah pengaruh red wine katanya? Hm...

Lagi, akhir cerita Critical Eleven sebenarnya bukan tipe akhir cerita favoritku. Tapi, sekali lagi, ini preferensi pribadi. Seleramu mungkin menyatakan ending cerita ini bagus, kalau seleraku sih tetap indomi.
Goreng. Pakai kuah.

But over all, aku sangat suka novel ini. Alur ceritanya memikat, dan banyak hal yang bisa kita ambil dari cerita cinta Anya dan Ale. Bahwa mencintai terkadang memang bukan hal yang mudah, namun ketika sebuah keputusan sudah diambil, kita tahu bahwa kita punya alasan mengapa kita memutuskan hal tersebut.

⭐⭐⭐⭐

Selamat tahun baru! (telat) (bodo amat)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Critical Eleven mau masuk bioskop!



Benar sekali, Anya dan Ale akan diliveactionkan dan tahun ini Critical Eleven akan tayang di bioskop kesayangan kita semua.

Selama membaca novel ini, aku sudah membayangkan beberapa adegannya ditampilan di layar bioskop. Ketika Anya dan Ale pertama kali bertemu di pesawat, misalnya. Atau ketika Anya dan Ale sedang... eng anu, koneksiku lagi error, nanti aku lanjutin.

Soal pemeran kedua tokoh ini, ada Adinia Wirasti sebagai Anya dan Reza Rahadian sebagai Ale. Adinia Wirasti yang sudah beberapa kali kita temui, seperti di AADC dan 3 Hari Untuk Selamanya. Sedangkan Reza, dari jaman aku belum tahu apa itu titip absen, sudah kuobatkan sebagai salah satu aktor favoritku. Ia bisa memerankan mulai dari tokoh seserius Habibie sampai se-sangat serius Bossman di film My Stupid Boss. Reza juga pernah memerankan sosok suami bermasalah (istilah apaan ini, Wen) di film Test Pack, jadi aku nggak akan ragu dengan aktingnya ketika mengetahui dia yang didapuk untuk memerankan Aldebaran Risjad.
Ini kelihatan nggak sih kalau aku bahasnya berat sebelah? *ditendang keluar lapangan*



Yang kuharapkan ketika Critical Eleven difilmkan adalah film ini tidak menghilangkan narasi-narasi hebat Ika Natassa. Aku berharap narasi informatif Anya akan disampaikan dalam bentuk monolog (atau apapun itu sebutannya, ketika terdengar suara si tokoh lagi ngomong panjang sementara di layar ia sedang jalan-jalan atau minum kopi di dekat jendela kafe). Dan lagi, aku berharap banyak kepada dua pemeran utama ini. Aku menunggu chemistry mereka berdua muncul dalam film ini. Cara mereka berdua saling memandang, cara mereka bergandeng tangan, cara mereka bermain dengan Jack...
Jack itu siapa? Dia itu anjing. Tuh kan, alim-alim peliharaannya anjing coba.

Dan soal dua adegan yang kusebutkan tiga alinea sebelum ini, aku berharap banyak pada keduanya.



Then, salah satu film yang harus ditonton tahun ini.

Credits: fankpop, tumblr, @ikanatassa


4 comments:

  1. reza rahardian. Siip lah. Aktingnya emang keren apalagi kalau di drama. Gutlak lombanya ya, Mba

    ReplyDelete
  2. Review-nya bagus banget, jadi ngk pede ikutan lomba review. Kalau tidak keberatan kasih komen review novel dark memory

    Silahkan mampir juga ya, ke www.ovianty.com

    ReplyDelete

Komentarmu, bahagiaku ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...